23 Feb 2014

Anzaka

Kubuka perlahan catatan dari lembaran diari yang baru saja diberikan oleh adiknya padaku. diari milik seorang sahabat yang sejak lama sering membuat waktu yang kami habiskan bersama tidak terasa seperti angka. Ia gemar tertawa dan memberi tahu apa yang ia pikirkan. Bijak dan memuaskan, walau sering juga biasa saja. Sering tertawa lepas dengan kata kata santai meluncur bebas, tapi terkadang terbata-bata dalam kekalutan jiwa.



ia tidak pernah cerita apa-apa, tentang yang dialaminya. Satu-satunya celah bagi jiwanya untuk berbicara jujur tentang kehidupannya, adalah matanya. Itu pun tak mudah dibaca.

Sejak empat hari yang lalu, ia meninggalkan kami, ia mengelana ke sebuah tempat tak terlacak. tak kunjung pulang. Menyisakan banyak pertanyaan, dan sedikit petunjuk melalui tulisan.

Kubaca tulisan itu. 

"Anzaka... Anzaka.... Anzaka....

Memalukan. Kuberikan semua pemahaman filosofis tentang kehidupan, sehingga mereka paham, terkadang untuk membahagiakan teman, terkadang agar aku aman.  

Aku tidak meracau, Aku paham apa yang aku bicarakan, dan semuanya sebenarnya ungkapan manis, yang mampu melunturkan pahit getir di lidah-ku sendiri.  

Jalan terurai panjang sudah tampak di depan mata. Kesadaran bahwa aku pegang kunci sudah ada. Namun kubiarkan diriku tak melangkah ke depan. terbiasa tapi lama lama kecewa. mengapa diri ini begitu payah, berjalan lambat ketika sesungguhnya bisa berlari, berlagak jatuh walau sanggup berdiri, Menciptakan beberapa langkah namun mundur lagi. Lalu berbisik sangat pelan, memaki diri sendiri yang tak pernah mau belajar. Tubuh ku pasti sudah menjerit, karena tidak diberikan perhatian dan "makan", sementara aku memberikan porsi berlebih pada ilusi pikiran. 

Jalan itu masih terurai di sana, terlalu mulia untuk menutup. Sungguh aku terjebak antara kebingungan dan sebuah kenyataan. Apa yang sebenarnya kuinginkan? Pergi ke sana, atau pura pura pergi ke sana? Ingin berjalan ke sana, atau hanya ingin terlihat berjalan menuju sana?

Air dan api. Analogi bagus dari pujangga Rumi. Air yang terlihat sejuk, begitu memikat untuk didatangi. Padahal di dalamnya, kau diperdaya. jika kau tersadar oleh pertanda luka bakar di tubuhmu, kau akan menyadari panas bara di sekitarmu. 

Di sisi lain, Api yang menjilat, terlihat panas dan berbahaya. Banyak yang menjauh, beberapa menghampiri. mereka yang ke sana berujar, api itu, dalam kobarannya memberikan aliran ketenangan dan kesejukan. 

Ini memalukan. Aku tau apa yang secara  tak sadar telah kupilih. luka bakar sudah tersebar di kulitku. Dalam kenikmatan aliran air yang penuh tipu, aku tersiksa, terbakar, dan terkadang dalam sesak asap yang tak terlihat, mulai rindu pulang. Cepat, batinku. Sebelum aku terbiasa dan akhirnya mati dalam hangus luka bakar.

Cepat! Seret kaki ringan itu walau sesuatu membuat nya terasa berat. Ego memang memiliki banyak jerat. Sangat nyata jika kau pikir begitu.

 Seret saja dan rasakan bahwa semua beban berat itu sesungguhnya tidak pernah ada. Untuk saat ini, pura pura menuju ke sana atau tidak, aku tidak peduli. Akan Kucoba membenarkan tujuan dalam keheningan kini.

Doakan jiwa dan ragaku masih cukup daya untuk berjalan mencapai sana. Rumah tanpa bata.

-Anzaka Traziti Mir Duše, 24 Februari 1997."

24 Februari. berarti tulisan ini dibuat empat hari yang lalu, tepat hari kepergiannya. terlalu lelah untuk berpikir, kertas itu kututup dan kupegang erat.

Sapuan bau rumah sakit kembali mencuat. Jam berbunyi, detik demi detiknya menawarkan lembaran kehidupan yang baru. di seberangku, wajah resah dan gelisah terpancar jelas. Tiba-tiba melalui sekat tembok, kudengar suara tangisan pertama-nya. keresahan tersapu lembut menghilang, digantikan kebahagiaan. Jiwa putih telah terlahir.


"Bayi perempuan."
"siapa namanya?"
"terlintas satu nama... Entah mengapa aku yakin itu tepat"
"apa itu?"
"Anzaka Mirno Duše."
"Apa artinya?"
"Jiwa yang damai."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar