23 Feb 2014

Gagak, Pipit, dan Seloyang Pizza. : Tentang Perbedaan

Menghujat orang lain yang berbeda, seolah mereka bagian di luar kamu yang tak perlu dipertahankan, adalah seperti papperoni yang menghujat paprika "si hijau itu berbeda dan bukan bagian dari kita!.", Katanya. Padahal mereka berdiri di satu adonan yang sama, dibakar di atas satu loyang yang tak memilih paprika atau papperoni yang lebih baik cepat dimatangkan.


Di atas cerobong dimana asap halus pembakaran pizza mengepul hangat, bertengger dua ekor burung. 

Burung pipit itu akhir akhir ini senang bermain dengan burung gagak. Entah apa yang membuatnya memilih keluar dari kerumunan sejenisnya.

"Kerumunan-ku terbang ke sana kemari. Kami melihat banyak hal di bawah kami, pemandangan yang silih berganti. Aku ingin tahu apa yang dilihat oleh gagak yang lebih banyak hinggap diam seperti batu, dan berkoar berisik. minta ditimpuk batu."

 Koakan gagak memekakkan telinga, kasar! tapi lama kelamaan dapat diterima juga oleh telinga pipit.

Karena penasaran, maka Sang pipit perlahan lahan menghampirinya. mengobrol tentang hal hal kecil, mulai menanyakan pendapat tentang berbagai hal. Jawaban kami mulai terlihat saling membelok 180 derajat, saling membelakangi. Sangat berbeda. se-kontras warna biru dan kuning. Biru. Dan kuning. Jelek sekali. 

 Perbedaan pendapat membuat diskusi kami selalu berakhir dengan nada kian meninggi, saling memaki. Dihujani emosi, aku memilih pergi. Menurut ku, pendapat gagak sangat goblok. Gagak juga bilang aku lebih dungu dari ikan sapu sapu, bahkan pendapat ku tak layak disebut sebagai pendapat." 

"Mungkin memang semua sudah diciptakan untuk bergerumul cukup pada kumpulan serupanya saja. Aku dan gagak tidak ditakdirkan untuk sekawan. Gagak barbar yang suram, tak pernah menyatu dengan pipit yang ceria. "

 "Tapi di suatu malam, aku mulai berpikir tentang pendapat sang gagak. ternyata selama ini, aku tidak mendengarkan. aku hanya mendengarkannya untuk mencari kelemahan argumen yang bisa diserang. tapi aku tidak pernah benar benar mendengarkan. 

keesokannya aku menghampirinya lagi. Berbicara pelan pelan. kami menundukkan perlahan ego diri, mulai mencari kebenaran dalam pendapat itu sendiri, bukan bergeser pada siapa yang mengutarakannya. aneh, untuk pertama kalinya, aku merasa nyaman. seolah batu ketegangan di antara kami telah pecah. Aneh! kami menemukan keserasian.."

Sang gagak membuka suara, seraknya membanjiri udara. "Terkadang yang keliru dalam diksusi dan perdebatan kami dulu, adalah karena baik aku atau pun burung pipit bukan ingin menunjukan bahwa pendapat salah satu dari kami benar. Tapi bergeser bahwa diriku atau dirinya lah yang benar.  Itu ciptaan ego mungil yang beringas. Kita memang selalu ingin diterima, ada rasa nyaman ketika pihak lain setuju. Semakin mengembang dan mengembang kegirangan itu ketika makin banyak yang sepihak. Tapi bayangkan jika sebaliknya. Ketika kau ditolak. Kau jadi kecewa. Padahal jika memang yang kau tawarkan adalah pendapatmu, bukan harga dirimu, sama sekali tidak perlu kecewa, bukan?" 

"Dan manisnya, topping di atas pizza tidak satu warna. tapi bermacam macam. Kau harus lebih terbiasa menundukkan ego, menundukkan kebanggaanmu akan lezatnya papperoni atau paprika, untuk sebuah kesatuan rasa yang lebih lezat dan besar. Pizza!." Sang gagak menghirup udara dari cerobong, baunya semakin sedap.

"Dengan menundukan ego diri yang selalu ingin diterima dan menjadi benar, Dari situ kami temukan bahwa ada beberapa keserasian antara warna biru dan kuning. Warna kontras yang tadinya bikin mata sakit, dengan kerendahan hati keduanya mengalir ke tengah, memadu menjadi warna hijau, warna yang menenangkan, menyejukan mata."

1 komentar:

  1. Keren din personifikasi yg mntap ga terlalu extrim tp asik he..kya nya tuh bsa dh jd 1 cerita yg mnteppp d lnjutka lah ye..

    BalasHapus